TribunMerdeka, MEDAN- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya praktik kartel dalam kenaikan harga minyak goreng.
“Selain itu juga dipicu kenaikan permintaan crude palm oil (CPO) di industri biodisel dan pasar internasional,” kata Komisioner KPPU, Ukay Karyadi dalam keterangan tertulis diterima redaksi, Jumat (21/1/2022).
Disebutkan Ukay, dugaan itu disampaikan dari hasil kajian atas permasalahan lonjakan harga minyak goreng dalam forum jurnalis yang diadakan secara daring, Kamis (20/1/2022) di Jakarta yang juga menghadirkan Direktur Ekonomi, Mulyawan Renamanggala.
Menurut Ukay, upaya penetapan harga oleh Pemerintah saat ini bagus dalam jangka pendek. Namun di jangka panjang belum dapat menyelesaikan persoalan industri yang diwarnai tingginya konsentrasi pelaku usaha yang terintegrasi dan kebijakan yang belum mendorong peningkatan jumlah pelaku usaha di industri tersebut.
Penelitian dilaksanakan dan dilatar belakangi lonjakan harga minyak goreng dari Oktober 2021 hingga mencapai Rp20.000 per liter.
Penelitian difokuskan pada dua sisi, yakni apakah kenaikan ini disebabkan adanya kebijakan Pemerintah atau terdapat perilaku anti persaingan oleh pelaku usaha.
“Sinyal-sinyal terkait kedua hal tersebut sudah ada,” kata Ukay Karyadi
Dari hasil penelitian, KPPU melihat bahwa terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan empat produsen minyak goreng.
Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng.
Sebaran pabrik minyak goreng juga dilihat tidak merata. Di mana sebagian besar pabrik berada di pulau Jawa dan tidak berada di wilayah perkebunan kelapa sawit. Padahal ketergantungan pabrik minyak goreng akan pasokan
CPO menjadi sangat besar.
KPPU menilai kenaikan harga minyak goreng di berbagai wilayah sejalan dengan kenaikan permintaan dan naiknya harga CPO.
Kenaikan tersebut dikarenakan tumbuhnya industri biodiesel, turunnya pajak ekspor di India, dan naiknya permintaan dari luar negeri akibat kenaikan akibat kebutuhan akan bahan bakar.
Posisi CPO sebagai komoditas global juga menyebabkan produsen minyak goreng sulit bersaing dengan pasar ekspor dalam hal mendapatkan bahan baku meskipun produsen minyak goreng masih satu kelompok usaha dengan pelaku usaha eksportir CPO.
Sementara, KPPU melihat kebijakan pemerintah yang ada saat ini belum mendorong adanya pertumbuhan industri minyak goreng dengan banyaknya aturan yang membatasi dan mengurangi persaingan usaha.
KPPU pernah menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah terkait berbagai kebijakan yang mengurangi persaingan usaha di industri pada 2007.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KPPU menyarankan agar Pemerintah mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil.
Semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang berintegrasi secara vertikal.
Lebih lanjut, untuk menjamin pasokan CPO, KPPU menyarankan agar perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dengan CPO untuk menjamin harga dan pasokan.
KPPU berharap harga pasar dapat berjalan sesuai hukum pasar dan tidak dipengaruhi adanya kartel atau kesepakatan akan tetapi hukum supply and demand.
“Kita juga berharap pemerintah mendorong pelaku usaha yang tidak terafiliasi dan KPPU akan terus
mendalami berbagai alat bukti atas permasalahan industri ini,” tegas Ukay Karyadi. (tanai)