JAKARTA – Di tengah janji pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menghadirkan kebijakan pro-rakyat, suara keras datang dari Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA).
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat GPA, Ridiuan Dalimunthe SH, menuding Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah mengeluarkan kebijakan “sembrono” yang berpotensi menimbulkan krisis energi dan keresahan sosial.
Kebijakan yang dimaksud adalah aturan baru yang mewajibkan SPBU swasta membeli bahan bakar minyak (BBM) melalui mekanisme business-to-business (B to B) dengan Pertamina.
Bagi Ridiuan, kebijakan tersebut bukan hanya soal teknis perdagangan energi. Ia menilai dampaknya bisa jauh lebih besar.
“Kebijakan ini sembrono. Analisisnya dangkal, dan jelas mengabaikan kepentingan publik. Kalau BBM langka, rakyat yang menderita, dan stabilitas pemerintahan Presiden Prabowo bisa terguncang. Menteri seperti ini harus sholat taubat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (19/9/2025).
Ia menegaskan, mekanisme B to B yang dipaksakan hanya akan membuat SPBU swasta tertekan. Ancaman penutupan SPBU swasta berarti hilangnya lapangan kerja dan potensi kenaikan harga BBM, yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas.
Ridiuan menyoroti bahwa kebijakan energi tidak boleh dilihat sekadar urusan bisnis. Menurutnya, keputusan yang tidak matang bisa memicu efek domino: keresahan publik, gangguan sosial, hingga erosi kepercayaan terhadap pemerintah.
“Seharusnya kebijakan hadir untuk menenangkan, bukan mengacaukan. Saat rakyat resah, itu tanda nyata bahwa arah kebijakan ini salah total,” tegasnya.
GPA bahkan secara terbuka meminta Presiden Prabowo untuk segera mencopot Bahlil dari jabatannya.
“Di saat kondisi Presiden Prabowo tengah lagi berjuang untuk kesejahteraan rakyat, malah Menteri SDM menambah pengangguran akibat SPBU Swasta terancam tutup. Ini lah yang mengakibat kan rakyat terzolimi,” ungkap Riduan.
Di balik perbedaan pandangan ini, terlihat adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, Pertamina, dan pelaku usaha SPBU swasta. Di satu sisi, pemerintah ingin menjaga stabilitas energi melalui integrasi pasokan BBM. Di sisi lain, SPBU swasta merasa terjepit dalam aturan baru yang dinilai merugikan.
Bagi GPA, persoalan ini bukan sekadar hitungan ekonomi. Mereka menekankan pada dampak sosial: potensi pengangguran, kelangkaan BBM, hingga keresahan masyarakat.
Kritik dari GPA menambah daftar panjang perdebatan tentang arah kebijakan energi di Indonesia. Bukan hanya soal pasokan BBM, tetapi juga soal transparansi, pemerataan akses, dan komitmen pemerintah untuk melindungi rakyat kecil.
“Pemerintah harus berani bersih dari kebijakan yang merugikan rakyat. Energi bukan barang main-main, ini soal hajat hidup orang banyak,” pungkas Ridiuan.
GPA menegaskan bahwa kritik ini bukan sekadar retorika politik. Mereka menyebutnya sebagai seruan moral bagi pemerintahan yang berjanji pro-rakyat.
“Energi bukan sekadar angka di atas kertas. Ini soal hidup orang banyak. Jangan biarkan kebijakan salah arah menghancurkan kepercayaan rakyat. Presiden Prabowo harus berani ambil sikap,” tutup Ridiuan.
Sebelumnya, MenESDM membantah sengaja tak beri kuota impor untuk SPBU swasta sehingga harus membeli ke Pertamina. Dia menegaskan, kuota tahun ini justru lebih tinggi 110 persen dari 2024.
“Gini gini, impor untuk 2025 kuotanya itu diberikan 110 persen dibandingkan 2024. Jadi sangatlah tidak benar kalau kita tidak berikan kuota impor tetapi untuk selebihnya silakan berkolaborasi business to business dengan Pertamina,” kata Bahlil kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta Pusat, Selasa (9/9/2025).
Bahlil menjelaskan, keputusan ini juga sejalan dengan kebijakan ketahanan energi nasional. Bahlil pun menampik pemerintah telah menutup akses impor hingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar SPBU swasta dengan milik pemerintah. (Red)