TribunMerdeka, MEDAN – Dampak aktifitas galian C di Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat kian parah. Selain tergerusnya lahan pertanian, tiga rumah warga di sana juga dilaporkan musnah terkena longsor. Aliran Sungai Batang Serangan juga berubah – ubah mengikuti geliat penambangan pasir batu (sirtu) di sana.
Hal itu membuat beberapa aktivis pecinta lingkungan geram. Seperti yang disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Doni Latuparisa. Dia mengatakan, Langkat merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang marak galian C. Geliatnya kerap menimbulkan berbagai persoalan.
“Beberapa kali masyarakat sekitar galian C membuat pengaduan ke WALHI Sumut, diantaranya dari Hulu Kabupaten Langkat. Patut diduga, glaian C juga menimbulkan persoalan lingkungan seperti berpindahnya alur sungai, abrasi dan kerusakan jalan akibat aktifitas truk,” kata pemuda kelahiran Stabat 29 tahun silam itu, Sabtu (16/4) siang.
Dalam hal tersebut, kata Doni, yang seharusnya bertanggungjawab adalah pemerintah. Apakah itu pemerintah provinsi melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), atau pemerintah pusat.
Jika terbukti bersalah, maka perlu penertiban izin galian C yang sudah diterbitkan. Perlu adanya evaluasi dan investigasi oleh pemerintah terhadap galian C dan aktifitas pertambangan lainnya. “Jangan – jangan ada yang tak berizin. Kan Inspektur Tambang dari Kementerian ESDM yg di tempatkan di Provinsi, yang tugasnya untuk pengawasan di sektor pertambangan,” tandas Sarjana Antropologi USU itu.
Sebelumnya, tiga rumah warga di Dusun VI Desa Sei Litur Tasik, Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat terbawa longsor karena tergerus arus Sungai Batang Serangan. Beberapa hektar lahan perkebunan warga juga terkikis abrasi. Warga menyebut, tingginya aktifitas galian C adalah pemicu kerusakan alam di sana.
Hal itu disampaikan Sriatun (49) kepada awak media di kediaman orang tuanya, di Sei Litur Tasik, Jum’at (15/4) siang. Dia menyebutkan, awalnya rumah Yusni (50) dan rumah Mala (40) yang longsor tergerus abrasi. Belakangan, sekira akhir Februari 2022 kemarin, giliran rumahnya yang ambruk terbawa longsor. “Jam 02.00 WIB pagi rumahku ambruk,” kenangnya dengan mata berkaca – kaca.
Tak banyak yang bisa dibuat keluara Sariatun. Mereka hanya bisa meminta bantuan kepada pemerintah setempat dan pengelola usaha galian C di sana. Hasilnya tak seperti yang dibayangkan, rumah yang hilang hingga kini belum tergantikan. Dia dan warga lainnya terkendala biaya untuk membangun kembali rumahnya.
“Dulu sebelum ada galian C, kondisi lingkungan di sini tak begitu parah. Saat ada penambangan material di Sungai Batang Serangan, berangsur – angsur lahan kebun dan tapak rumah warga habis tergerus arus sungai,” kata ibu dari tiga anak itu.
Sriatun dan dua korban longsor lainnya berharap, agar pemerintah dan pengusaha galian C memperhatikan nasib mereka. Lebih baik seluruh aktifitas galian C di sana agar segera ditutup. Daripada kehadirannya justru merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar. Di sana ada dua lokasi tambang, yakni milik pengusahan bernama Hasan dan KSU yang berkantor di Tanjung Morawa Deli Serdang.
Terpisah, seorang warga yang megaku bernama Miko juga mengalami dampak buruk dari aktifitas penambangan di sana. Pria paruh baya itu sudah kehilangan sebahagian lahan perkebunan sawit miliknya. “Liatlah, sungainya semakin lebar. Lahan kami habis tergerus. Efek galian C di sini sudah sangat merugikan masyarakat,” ketus Miko.
Pantauan di lapangan, kondisi Sungai Batang Serangan kian memprihatinkan. Beberapa alat berat terlihat masuk ke aliran sungai untuk menggali material. Tanaman sawit milik warga juga banyak yang tumbang ke dalam sungai. Warga berharap, agar ada perhatian serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum terkait kerusakan lingkungan tersebut.
Hingga berita ini diterbitkan, baik Hasan selaku pengelola galian C dan Rudi yang disebut – sebut sebagai perwakilan dari KSU enggan berkomentar. Pengusaha tersebut belum membalas pesan WhattsApp yang dikirimkan, meskipun sudah dibacanya. Mereka seakan acuh dengan kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat yang sudah terjadi di sana. (Ahmad)