TribunMerdeka, STABAT – Isu pencemaran lingkungan dari aktifitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara Pangkalan Susu terus menjadi sorotan aktivis lingkungan. Meskipun hal itu disebut – sebut bukan atas kesengajaan perusahaan, tapi masyaralat sekitar mengaku sudah merasakan dampak buruknya sejak beberapa tahun terakhir.
Menyikapi hal itu, Manager Administrasi Indonesia Power (IP) Evendi S Rumahorbo menegaskan, persoalan limbah anak perusahaan BUMN itu bukanlah atas unsur kesengajaan. Mereka sudah berupaya sesuai dengan ketentuan, untuk mengatasi persoalan limbah.
“Kalau persoalan pencemaran, itu gak kita pungkiri. Bohong kalau kita bilang gak ada pencemaran. Tapi ya gak separah seperti yang diinformasikan. Kalau masyarakat sekitar batuk dan gatal – gatal, belum tentu juga kan penyebabnya dari limbah PLTU,” terang Evendi, Kamis (31/3) sore.
PLTU batubara Pangkalan Susu sendiri sudah menggunakan teknologi alat penangkap debu atau Electrostatic Persipitator (ESP). Sehingga, kebocoran partikel fly ash (abu terbang) ke udara dapat diminimalisir hingga 99,5 persen.
Limbah fly aash dan bottom ash (FABA), nantinya diangkut menggunakan truk ke tempat penampungan limbah. “Yang keluar dari cerobong itu bukan fly ash, tapi asap. Nanti FABA yang terkumpul dekat boiler akan diangkut truk. Intinya, kalau limbah batubara berbahaya, dah banyak yang sakit karenanya,” kilah Evendi, tanpa menepis kalau asap yang keluar dari cerobong juga tercampur dengan fly ash.
Menyikapi persoalan pembatasan aktifitas nelayan, pria yang pernah bertugas selama 27 di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten itu mengatakan, hal itu bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat bongkar batubara di dermaga. Bukan melarang nelayan menangkap ikan di sana.
“Sepanjang jalur mulai dari tanker batubara hingga ke dermaga (jetty), sudah kita sewa dan kita bayar ke negara. Area itu adalah kawasan yang rentan terjadinya kecelakaan bagi aktifitas nelayan di sana. Kita gak melarang nelayan nangkap ikan, kita hanya membatasi nelayan agar tidak masuk ke areal aktifitas tongkang,” lanjut Evendi.
Selain itu, kata dia, pihak PLTU Pangkalan Susu kerap menyalurkan Corporate Social Resposibility (CSR) sebagai bentuk tanggungjawab sosial kepada masyarakat sekitar. Mulai dari memberikan bibit ikan dan udang serta pembuatan keramba bagi nelaayan, hingga pengobatan gratis bagi masyarakat rutin dilakukan.
Bahkan, beberapa nelayan pernah menerima bantuan lima unit sampan dari perusahaan pembangkit listrik itu. “Kita tetap salurkan CRS bagi masyarakat, terutama yang berada di ring 1 PLTU. Besok, kita akan bagikan sembako di beberapa desa, salah satunya di Desa Pulau Sembilan,” lanjut pria asal Simalungun itu.
Menyikapi persoalan limbah FABA PLTU, khususnya di Pangkalan Susu, Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu Ali Akbar menegaskan, FABA boleh saja dimanfaatkan untuk paving blok atau batako. Namun pemanfaatannya harus diawasi secara ketat, terutama dalam komposisinya.
Hal yang dikhawatirkan adalah, saat proses pabrikasinya tanpa control dan tanpa mekanisme yang benar. Baik dari proses pengangkutan hingga penyimpanannya harus dilakukan sesuai mekanisme yang ditentukan. Jadi, jangan hanya dijadikan kerjaan promosi yang menyatakan bahwa limbah tersebut berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
“Meskipun sudah dikeluarkan dari limbah B3, penanganan FABA ini harus tetap diperlakukan secara khusus. Gak bisa dihambur – hamburkan begitu saja. Tetap harus mengikuti mekanisme yang ada dalam dokumen Analsisis Dampak Lingkungan (ANDAL),” tegas Ali Akbar.
Karena volumenya yang cukup besar, kata pria berkacamata itu, FABA harus diperlakukan secara khusus. Selain itu, limbah limbah tersebut juga mengandung merkuri dan logam berat lainnya. “Kalau volumenya cuma sekarung dua karung, mungkin gak perlu perlakuan khusus untuk penanganannya,” lanjutnya.
Jika hadirnya PLTU Pangkalan Susu menyebabkan gangguan Kesehatan terhadap masyarakat sekitar, maka harus ada tanggungjawab sosial dari perusahaan. Jadi, dirasa sangat tidak tepat jika CSR yang diberikan kepada masyarakat berupa paving blok dari FABA. Atau hal lain yang tidak ada korelasinya dengan kerugian yang dialami masyarakat sekitar.
Seperti riset yang dilakukan Nexus3 Foundation, FABA sendiri masih merupakan golongan limbah B3. Meskipun hal itu bertolak belakang dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan Februari 2021 silam. Dibanyak tempat, walau FABA tidak diakui sebagai limbah B3, namun sisa pembakaran batubara itu tetap diperlakukan secara khusus.
“Awal FABA itu ditetapkan sebagai limbah B3 karena mengandung racun logam berat. Selain itu, volumenya juga cukup besar. Karena hal itulah, FABA harus tetap diperlakukan secara khusus. Terlebih lagi jika akan dijadikan produk – produk turunan lainnya,” tegas aktivis lingkungan itu.
Sementara, menurut data ANDAL PLTU Pangkalan Susu unit 3 dan 4, dibutuhkan batubara sebanyak 11. 885 per hari. Sementara, sisa pembakaran dari stoker boiler batubara berupa abu terbang (fly ash) diperkirakan ± 70 persen dan bottom ash ± 30 persen.
Kemudian, akan dibuang ke tempat penampungan abu (ash disposal area) yang telah disediakan, dengan menggunakan truk dan belt conveyor. Maka jumlah abu yang dihasilkan perhari adalah: 6% x 11.885 ton batubara = 713,1 ton abu batubara per hari. Fly ash yang dihasilkan perhari = 499,17 ton. Atau 70 persen dari FABA per hari. Abu dasar yang dihasilkan per hari = 213,93 ton dari 30 persen FABA per hari.
Sedangkan alat penangkap abu terbang atau Electrostatic Presipitator (ESP) memiliki efisiensi 99,5 % dengan pencatatan : abu terbang yang ditangkap alat = 496,67 ton per hari. Maka, abu terbang yang lepas ke udara diperkirakan mencapai 2,5 ton per hari. Artinya, tetap ada fly ash yang berhamburan ke udara dalam jumlah yang cukup besar setiap harinya. (Ahmad)